Selasa, 13 Desember 2011

PARADIGMA PENDIDIKAN

MENGUBAH PARADIGMA PENDIDIKAN
( Oleh : Syaifur Rohman *)
Salah satu solusi yang solutif bagi kemajuan sebuah bangsa adalah membangun bidang pendidikan. ini terbukti manjur, melihat Negara semisal Jepang yang sempat terpuruk akibat bom atom sekutu yang memporak -  porandakan kota Hirosima dan Nagasaki, namun ketika itu pemerintah  Jepang  tidaklah menanyakan berapa pengusaha, berapa menteri yang selamat atas musibah itu, namun mereka menanyakan berapa guru yang selamat dari bom atom tersebut. Selanjutnya pemerintah benar – benar memberdayakan guru, mereka di jamin kehidupannya.  Dengan kebijakan tersebut dalam waktu relative singkat Jepang telah bangun dari keterpurukkan dan menjelma menjadi Negara industri yang sangat diperhitungkan dunia. itu sedikit cerita betapa dunia pendidikan begitu besar andilnya dalam kemajuan suatu Negara. Kebijakan berbeda di ambil pemerintah tanah air yaitu dengan lebih mementingkan pembangunan fisik Negara, sehingga dunia pendidikan di nomor duakan. Program – program pemerintah dapat dikatakan selalu berpihak pada pembangunan fisik Negara, seperti kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun [ REPELITA I – V ] yang hingga berjilid – jilid. Pemerintah tidak menghiraukan pembangunan mental bangsa melalui pendidikan. akibatnya banyak yang menganggap bahwa menjadi guru adalah suatu momok yang memalukan. Para guru pun menjalankan tugas mereka hanyalah sebatas menyampaikan ilmu [ transfer of knowledge ], dengan pembelajaran yang berpusat pada guru [ teacher centered ] yang mengganggap bahwa siswa adalah botol kosong yang harus di isi hingga penuh,  akibatnya siswa pun selalu di jejali sesuatu yang telah menjadi keputusan para guru dengan di embel – embeli doktrin bahwa sesuatu tersebut sangatlah penting bagi masa depan siswa. Para guru menganggap bahwa merekalah yang paling tahu atas semua yang terbaik bagi peserta didik, akibatnya  pendidikan pun tidak memberikan suatu perubahan bagi kemajuan bangsa.
Untunglah hal ini telah berubah, terutama dengan kebijakan – kebijakan terbaru setelah berakhirnya rezim orde baru. Sekarang ini menjadi guru merupakan profesi yang menjanjikan karena bagi guru yang telah PNS selain mendapatkan gaji pokok juga mendapatkan berbagai tunjangan. Saat ini pemerintah mulai mengerti bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya harus di tompang dengan kemajuan di bidang pendidikan. program – program yang diperuntukkan bagi kemajuan bidang pendidikan pun terus digencarkan. Mulai pemberlakuan sertifikasi guru, hingga sekolah profesi bagi mereka yang akan menekuni profesi menjadi seorang pendidik. Para guru yang telah puluhan tahun mengajar pun harus rela untuk belajar kembali, mereka berbondong – bondong mengikuti program sertivikasi. Dengan antusias mereka mengikuti seluruh peraturan pemerintah tersebut demi lulus sertivakasi. Namun sayangnya kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan secara linear dengan hasil capaian dari program sertivikasi, karena tidak sedikit peserta yang hanya menginginkan sertifikat kelulusan saja, demi mendapatkan kenaikan gaji, tanpa mengindahkan poin penting dari program sertifikasi yaitu membekali guru dengan empat kompetensi yang telah di terangkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional yang meliputi kompetensi keprofesionalan, kepribadian, pedagogik, dan sosial serta yang terbaru adalah kompetensi leadership [ kepemimpinan ].
Hal penting yang perlu dijadikan acuan pemerintah ketika memberikan kebijakan – kebijakan dalam bidang pendidkan adalah merubah paradigma berpikir para pendidik / guru, dari paradigma pendidikan tradisional yaitu pendidikan yang berpusat pada guru [ teacher centered education ] yang menganggap bahwa peserta didik adalah botol kosong ditransisikan menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik [ student centered education ] yang menyakini bahwa peserta didik telah mempunyai bakat dan kemampuan, sehingga tugas pendidik adalah sebagai fasilitator yang memfasilitasi peserta didik  hingga mampu mengembangkan bakat – bakat mereka. Para pendidik ( sebut : guru ) pun harus diberikan bekal pemahaman tentang PAKEM [ Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan], sehingga proses pembelajaran benar – benar efektif. Meminjam istilah pakar pendidikan asal Brazil Poulo Freire bahwa pendidikan haruslah bersifat humanis yaitu pembelajaran yang  memanusiakan manusia. Dengan paradigma baru pendidikan ini tentulah hal itu bisa dicapai, sehingga tidak ada hegemoni antar peserta didik dan pendidik,  Karena setiap peserta didik mempunyai bakat dan kemampuan berbeda sehingga tidak mungkin jika proses pendidikan dijalankan dengan cara yang monoton seperti ceramah saja. Oleh karena itu dengan paradigma baru ini seorang guru akan semakin kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga hasil pendidikan di tanah air ini benar – benar mampu menjadi solusi yang solutif bagi kemajuan bangsa dan Negara.
*Penulis adalah
Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

PESANTREN

MENILIK PENDIDIKAN ala  PESANTREN
[ oleh  : Syaifur Rohman *]
Pendidikan yang di tempuh oleh peserta didik selama 12 tahun sebagai program wajib belajar [ wajar ] agaknya belum mampu memenuhi harapan yang telah menjadi target negara yang dalam kasus ini adalah menteri pendidikan nasional khususnya, dan umumnya bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Pendidikan yang seharusnya menjadi kawah Candradimuka sebagai tempat menggodok keilmuan setiap peserta didik belum bisa memberikan jawaban atas permasalahan yang terjadi menyangkut dengan kualitas peserta didik. Permasalahan seputar peserta didik seperti tawuran antar sekolah, hamil diluar nikah, hingga pembunuhan yang dilakukan anak dibawah umur seakan sudah menjadi tontonan setiap hari. Kita dapat mengakses semua melalui media masa , baik itu media cetak maupun media elektronik. Yang lebih ironis adalah para pendidik /      guru yang seharusnya menjadi suri tauladan / panutan yang baik malah banyak yang menjadi aktor dibalik kejahatan – kejahatan tersebut. itulah yang menjadi permasalahan besar bagi dunia pendidikan, karena target untuk menjadikan manusia yang berakhlaq  mulia dengan pengetahuan yang mengikuti perkembangan zaman sama sekali belum bisa terrealisasikan. Salah satu yang sering disoroti banyak kalangan adalah aspek penilaian dunia pendidikan yang lebih mengedepankan aspek koqnitif, dan mengkesampingkan aspek – aspek kecerdasan lain yang dimiliki peserta didik seperti aspek afektif dan aspek psikomotor sehingga banyak peserta didik yang berbuat kenakalan - kenakalan didalam maupun diluar sekolah, karena mereka membutuhkan sarana untuk menyalurkan bakat. Dari situ jelas terlihat kelemahan dunia pendidikan kita. Indonesia adalah bangsa besar dengan kekayaan melimpah, baik kekayaan alam maupun kekayaan sejarah. Dalam sejarah berdirinya bangsa ini ada yang mempunyai andil besar ketika mengalahkan para penjajah yaitu dunia pesantren. Banyak yang salah menafsirkan dunia pesantren, menurut mereka pesantren sangat identik sebagai tempat orang – orang yang tertinggal dari pengetahuan modern [ salaf / kuno ] atau ada juga yang hanya mengetahui bahwa didunia pesantren hanya diajari berdo’a dan mengaji, tanpa diajari bekerja. Semua anggapan tersebut memang ada benarnya namun juga tidak sedikit salahnya. Banyak sekali kelebihan yang didapat dari dunia pesantren misalnya dalam dunia pendidikan, Karena hanya di dunia pesantren setiap peserta didik [ santri ] benar – benar digembleng baik dari segi kognitif [ dengan mewajibkan para santri menghafalkan pelajaran – pelajaran], segi afektif [ dengan mengajari mereka bermasyarakat sehingga emosi mereka lebih tertata], segi psikomotorik [ dengan memberikan waktu belajar dilingkungan sekitar, baik itu berupa olahraga maupun olah kanuragan ] dan semua itu disempurnakan dengan aspek spiritual. Hanya dipesantrenlah seorang peserta didik diajari tentang cinta terhadap tanah air [ khubul waton ] dan cinta keberagaman yang merupakan manifestasi dari pelajaran yang mereka peroleh dimadarasah. Meminjam istilah yang digunakan K.H Said Agil Siraj [ ketua PBNU ], “ hanya didunia pesantrenlah para santri diajarkan tentang semangat keagamaan [ rukhuut tadayun ], dan semangat cinta tanah air [ rukhuul watoniyah ]. Selain itu dalam dunia pesantren para santri selalu dipantau oleh sang kyai yang tidak hanya memantau dari segi jasmani namun juga dari segi rohani sehingga mereka benar – benar merasa mempunyai tanggung jawab. Maka tidak salah ketika banyak jebolan – jebolan Pondok Pesantren yang menjadi orang besar di seluruh dunia, kita ambil contoh K.H Abdurrahman Wahid, K.H Said Agil Siraj, Din Syamsudin. Dll, mereka merupakan bukti nyata bahwa pesantren mampu mengemban tugasnya menjadi kawah candradimuka yang menggodok peserta didik menjadi intelektual – intelektual  peradaban. Meminjam istilah yang digunakan oleh Poule Freire bahwa peserta didik harus menjadi intelektual organik, maka hasil pendidikan pesantren akan mengantarkan peserta didik menjadi intelektual organik yang siap menjawab tantangan zaman. Maka sekarang sudah waktunya pendidikan kita bercermin kedunia pesantren, karena sudah saatnya dunia pendidikan kita menjawab tantangan zaman.
*Penulis adalah
salah satu anggota Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat [LP2M] 

MULTIPLE INTELEGENSI

IMPLEMENTASI MULTIPLE INTELENGENSI DALAM PROSES PENDIDIKAN
( Syaifur Rohman *)
Tujuan dari dijalankannya proses pembelajaran sesuai UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, untuk mencapai tujuan itu pun telah di sediakan serangkaian konsep meliputi konsep standar pendidik, standar isi, standar kompetensi, dan lain sebagainya. Perubahan kurikulum pun terus dilakukan mulai kurikulum tahun 1994 hingga sekarang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan [ KTSP ], yang ditelah diaplikasikan mulai tahun 2005 hingga sekarang. Naik turunnya sebuah kurikulum tidak lain dimaksudkan untuk mendapatkan cara tepat dalam menjalankan proses pembelajaran, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan hingga evaluasi semua diarahkan untuk memenuhi target tercapainya tiga ranah pokok yang selalu dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses pendidikan yaitu ranah kognitif, afektif serta psikomotorik peserta didik. Tugas vital seorang pendidik sangat kentara ketika menghadapi puluhan bahkan ratusan peserta didik dengan potensi yang berbeda. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sangatlah menentukan keberhasilan dari proses pembelajaran. Mulai dari kompetensi pedagogik yang meliputi kompetensi dalam ilmu mengajar, sosial, profesional serta leadhership semua harus dimiliki seorang pendidik. Transisi pemahaman dari konvensional ke arah modern mulai digalakkan, proses pembelajaran yang berpusat pada guru [ Teacher Centered Education ] mulai beralih ke pembelajaran yang berpusat pada siswa [ Student Centered Education ]. Peserta didik tidak lagi diyakini sebagai botol kosong yang siap di isi berbagai pengetahuan dari guru namun mereka laksana tumbuhan yang menunggu siraman, pupuk, serta sinar matarari perhatian serta motivasi dari sang guru, sehingga kelak mereka mampu tumbuh menjadi pohon – pohon dengan akar kuat serta daun rindang yang menyejukkan dan mengayomi. Ketika konsep pembelajaran dengan menekankan pada Multiple Intelegensi [ kecerdasan majemuk ] telah diterapkan maka tidak ada lagi istilah peserta didik yang bodoh, terbelakang, terasing, lambat dalam pembelajaran, dan sebagainya. Karena semua peserta didik mempunyai kecerdasan yang berbeda satu sama lain, sehingga tugas seorang pendidiklah untuk mengetahui kecerdasan setiap peserta didik. Tugas tersebut memang berat terutama bagi guru – guru yang masih menggunakan pola berfikir Konvensional / Tradisional, namun bagi guru yang telah mengubah paradigma Tradisional dengan paradigma Modern hal tersebut bukan suatu yang sulit. Karena mereka sedang berhadapan dengan makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna, sehingga mereka akan selalu menemukan hal baru yang menakjubkan dalam menjalankan tugasnya. Hal yang paling memprihatinkan adalah masih banyaknya pendidik yang mencaci peserta didik, menyalahkan mereka, hingga memberikan hukuman dengan hukuman yang tidak edukatif. Semisal ada guru yang mengatakan kata – kata negatif seperti “ kamu salah”/ dasar anak bodoh”, yang serta merta disusul dengan gelak tawa peserta didik lain, dapat dibayangkan bagaimana keadaan psikologis peserta didik yang dikatakan seperti itu. Pembunuhan karakter yang tanpa disadari para pendidik, seperti yang dikatakan oleh E.Mulyasa bahwa “ tidak semua guru itu penting bahkan banyak guru yang menyesatkan perkembangan dan masa depan anak bangsa “, hanya pendidik yang selalu belajar dan menghargai semua potensi peserta didiklah yang berhak menerima predikat “ pahlawan tanpa jasa “. Penerapan Multiple Intelegensi memang membutuhkan kerja keras, terutama bagi pendidik, karena mereka dituntut untuk mengerti potensi yang di miliki setiap peserta didik, namun jika bisa teraplikasikan model pembelajaran ini akan memberikan hasil yang menakjubkan. Semisal seorang pendidik dapat menyesuaikan model pembelajaran sesuai dengan apa yang dikehendaki peserta didik dengan materi pembelajaran, apakah mereka menginginkan materi disampaikan dengan diskusi ataukah mereka ingin mencari sendiri informasi tentang materi tersebut, maka seorang pendidik bisa menggunakan strategi – strategi pembelajaran. Dengan menekankan keterlibatan jiwa dari peserta didik menjadikan pembelajaran bukan saja berhenti pada taraf Transfer of Knowlege, namun lebih dari itu pendidikan haruslah menekankan Transfer of Values, Disinilah akan terlihat perbedaan nyata antara pendidikan dengan metode lama  dengan metode yang digunakan dalam multiple intelegensi. Dan pendidikan akan benar – benar untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
*Penulis adalah
Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

Kamis, 01 Desember 2011

GURU JILID 2

menjadi guru 
seorang guru adalah kunci keberhasilan pembelajaran yang dijalankan untuk menghasilkan out put yang benar2 diinginkan yaitu terciptanya peserta didik yang mampu menjalani kehidupan dengan kemandirian, dan mampu menjawab kemajuan zaman. begitu vitalnya posisi seorang guru sehingga dijadikan sebagai salah satu penghasil uang yang menjanjikan. guru telah kehilangan ruh yang seharusnya dijadikan pedoman dalam menjalankan tanggung jawabnya, yaitu keikhlasan, alassan yang sering dijadikan benteng adalah bahwa gurupun memiliki keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya, sehingga mereka pun harus mendapatkan upah yang sesuai dengan kerja mereka. memang tidak ada salahnya meminta upah, karena jelas nabi pun tidak melarang meminta upah atas suatu pekerjaan begitu juga bagi pendidik. namun yang disayangkan adalah sikap komersial yang telah membudaya tak terkecuali bagi pendidik, sehingga mereka tidak akan mau mengajar jika mereka tidak dibayar. menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan jiwa, sebuah pengabdian yang berlandas atas keistiqomahan, kesabaran, serta keikhlasan. jika guru dapat menerapkan semua itu maka dia akan mendapatkan janji allah pada surat al - mujadilah ayat 11 " allah akan selalu mengangkat orang2 yang beriman dan orang yang berilmu dengan beberapa derajat". walaupun akibat dari globalisme dan komersialime begitu kental dalam masyarakat ini tidak selayaknya seorang guru harus terhanyut dalam pusaran itu. karena seorang guru bukan hanya mempunyai tugas menyampaikan satu ilmu atau nilai namun seorang guru haruslah menerapkan keilmuan itu dalam kehidupannya sehingga peserta didik bisa meniru dalam kehidupan mereka. maka banggalah menjadi seorang guru tanpa tanda jasa, karena peserta didik adalah pelayan bagi guru yang mengajarkan satu huruf pada dia [ peserta didik ].