Selasa, 13 Desember 2011

PARADIGMA PENDIDIKAN

MENGUBAH PARADIGMA PENDIDIKAN
( Oleh : Syaifur Rohman *)
Salah satu solusi yang solutif bagi kemajuan sebuah bangsa adalah membangun bidang pendidikan. ini terbukti manjur, melihat Negara semisal Jepang yang sempat terpuruk akibat bom atom sekutu yang memporak -  porandakan kota Hirosima dan Nagasaki, namun ketika itu pemerintah  Jepang  tidaklah menanyakan berapa pengusaha, berapa menteri yang selamat atas musibah itu, namun mereka menanyakan berapa guru yang selamat dari bom atom tersebut. Selanjutnya pemerintah benar – benar memberdayakan guru, mereka di jamin kehidupannya.  Dengan kebijakan tersebut dalam waktu relative singkat Jepang telah bangun dari keterpurukkan dan menjelma menjadi Negara industri yang sangat diperhitungkan dunia. itu sedikit cerita betapa dunia pendidikan begitu besar andilnya dalam kemajuan suatu Negara. Kebijakan berbeda di ambil pemerintah tanah air yaitu dengan lebih mementingkan pembangunan fisik Negara, sehingga dunia pendidikan di nomor duakan. Program – program pemerintah dapat dikatakan selalu berpihak pada pembangunan fisik Negara, seperti kebijakan Rencana Pembangunan Lima Tahun [ REPELITA I – V ] yang hingga berjilid – jilid. Pemerintah tidak menghiraukan pembangunan mental bangsa melalui pendidikan. akibatnya banyak yang menganggap bahwa menjadi guru adalah suatu momok yang memalukan. Para guru pun menjalankan tugas mereka hanyalah sebatas menyampaikan ilmu [ transfer of knowledge ], dengan pembelajaran yang berpusat pada guru [ teacher centered ] yang mengganggap bahwa siswa adalah botol kosong yang harus di isi hingga penuh,  akibatnya siswa pun selalu di jejali sesuatu yang telah menjadi keputusan para guru dengan di embel – embeli doktrin bahwa sesuatu tersebut sangatlah penting bagi masa depan siswa. Para guru menganggap bahwa merekalah yang paling tahu atas semua yang terbaik bagi peserta didik, akibatnya  pendidikan pun tidak memberikan suatu perubahan bagi kemajuan bangsa.
Untunglah hal ini telah berubah, terutama dengan kebijakan – kebijakan terbaru setelah berakhirnya rezim orde baru. Sekarang ini menjadi guru merupakan profesi yang menjanjikan karena bagi guru yang telah PNS selain mendapatkan gaji pokok juga mendapatkan berbagai tunjangan. Saat ini pemerintah mulai mengerti bahwa kemajuan suatu bangsa salah satunya harus di tompang dengan kemajuan di bidang pendidikan. program – program yang diperuntukkan bagi kemajuan bidang pendidikan pun terus digencarkan. Mulai pemberlakuan sertifikasi guru, hingga sekolah profesi bagi mereka yang akan menekuni profesi menjadi seorang pendidik. Para guru yang telah puluhan tahun mengajar pun harus rela untuk belajar kembali, mereka berbondong – bondong mengikuti program sertivikasi. Dengan antusias mereka mengikuti seluruh peraturan pemerintah tersebut demi lulus sertivakasi. Namun sayangnya kebijakan pemerintah tersebut tidak berjalan secara linear dengan hasil capaian dari program sertivikasi, karena tidak sedikit peserta yang hanya menginginkan sertifikat kelulusan saja, demi mendapatkan kenaikan gaji, tanpa mengindahkan poin penting dari program sertifikasi yaitu membekali guru dengan empat kompetensi yang telah di terangkan dalam UU No 20 tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional yang meliputi kompetensi keprofesionalan, kepribadian, pedagogik, dan sosial serta yang terbaru adalah kompetensi leadership [ kepemimpinan ].
Hal penting yang perlu dijadikan acuan pemerintah ketika memberikan kebijakan – kebijakan dalam bidang pendidkan adalah merubah paradigma berpikir para pendidik / guru, dari paradigma pendidikan tradisional yaitu pendidikan yang berpusat pada guru [ teacher centered education ] yang menganggap bahwa peserta didik adalah botol kosong ditransisikan menjadi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik [ student centered education ] yang menyakini bahwa peserta didik telah mempunyai bakat dan kemampuan, sehingga tugas pendidik adalah sebagai fasilitator yang memfasilitasi peserta didik  hingga mampu mengembangkan bakat – bakat mereka. Para pendidik ( sebut : guru ) pun harus diberikan bekal pemahaman tentang PAKEM [ Pendidikan Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan], sehingga proses pembelajaran benar – benar efektif. Meminjam istilah pakar pendidikan asal Brazil Poulo Freire bahwa pendidikan haruslah bersifat humanis yaitu pembelajaran yang  memanusiakan manusia. Dengan paradigma baru pendidikan ini tentulah hal itu bisa dicapai, sehingga tidak ada hegemoni antar peserta didik dan pendidik,  Karena setiap peserta didik mempunyai bakat dan kemampuan berbeda sehingga tidak mungkin jika proses pendidikan dijalankan dengan cara yang monoton seperti ceramah saja. Oleh karena itu dengan paradigma baru ini seorang guru akan semakin kreatif dalam melaksanakan proses pembelajaran sehingga hasil pendidikan di tanah air ini benar – benar mampu menjadi solusi yang solutif bagi kemajuan bangsa dan Negara.
*Penulis adalah
Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

PESANTREN

MENILIK PENDIDIKAN ala  PESANTREN
[ oleh  : Syaifur Rohman *]
Pendidikan yang di tempuh oleh peserta didik selama 12 tahun sebagai program wajib belajar [ wajar ] agaknya belum mampu memenuhi harapan yang telah menjadi target negara yang dalam kasus ini adalah menteri pendidikan nasional khususnya, dan umumnya bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses tersebut. Pendidikan yang seharusnya menjadi kawah Candradimuka sebagai tempat menggodok keilmuan setiap peserta didik belum bisa memberikan jawaban atas permasalahan yang terjadi menyangkut dengan kualitas peserta didik. Permasalahan seputar peserta didik seperti tawuran antar sekolah, hamil diluar nikah, hingga pembunuhan yang dilakukan anak dibawah umur seakan sudah menjadi tontonan setiap hari. Kita dapat mengakses semua melalui media masa , baik itu media cetak maupun media elektronik. Yang lebih ironis adalah para pendidik /      guru yang seharusnya menjadi suri tauladan / panutan yang baik malah banyak yang menjadi aktor dibalik kejahatan – kejahatan tersebut. itulah yang menjadi permasalahan besar bagi dunia pendidikan, karena target untuk menjadikan manusia yang berakhlaq  mulia dengan pengetahuan yang mengikuti perkembangan zaman sama sekali belum bisa terrealisasikan. Salah satu yang sering disoroti banyak kalangan adalah aspek penilaian dunia pendidikan yang lebih mengedepankan aspek koqnitif, dan mengkesampingkan aspek – aspek kecerdasan lain yang dimiliki peserta didik seperti aspek afektif dan aspek psikomotor sehingga banyak peserta didik yang berbuat kenakalan - kenakalan didalam maupun diluar sekolah, karena mereka membutuhkan sarana untuk menyalurkan bakat. Dari situ jelas terlihat kelemahan dunia pendidikan kita. Indonesia adalah bangsa besar dengan kekayaan melimpah, baik kekayaan alam maupun kekayaan sejarah. Dalam sejarah berdirinya bangsa ini ada yang mempunyai andil besar ketika mengalahkan para penjajah yaitu dunia pesantren. Banyak yang salah menafsirkan dunia pesantren, menurut mereka pesantren sangat identik sebagai tempat orang – orang yang tertinggal dari pengetahuan modern [ salaf / kuno ] atau ada juga yang hanya mengetahui bahwa didunia pesantren hanya diajari berdo’a dan mengaji, tanpa diajari bekerja. Semua anggapan tersebut memang ada benarnya namun juga tidak sedikit salahnya. Banyak sekali kelebihan yang didapat dari dunia pesantren misalnya dalam dunia pendidikan, Karena hanya di dunia pesantren setiap peserta didik [ santri ] benar – benar digembleng baik dari segi kognitif [ dengan mewajibkan para santri menghafalkan pelajaran – pelajaran], segi afektif [ dengan mengajari mereka bermasyarakat sehingga emosi mereka lebih tertata], segi psikomotorik [ dengan memberikan waktu belajar dilingkungan sekitar, baik itu berupa olahraga maupun olah kanuragan ] dan semua itu disempurnakan dengan aspek spiritual. Hanya dipesantrenlah seorang peserta didik diajari tentang cinta terhadap tanah air [ khubul waton ] dan cinta keberagaman yang merupakan manifestasi dari pelajaran yang mereka peroleh dimadarasah. Meminjam istilah yang digunakan K.H Said Agil Siraj [ ketua PBNU ], “ hanya didunia pesantrenlah para santri diajarkan tentang semangat keagamaan [ rukhuut tadayun ], dan semangat cinta tanah air [ rukhuul watoniyah ]. Selain itu dalam dunia pesantren para santri selalu dipantau oleh sang kyai yang tidak hanya memantau dari segi jasmani namun juga dari segi rohani sehingga mereka benar – benar merasa mempunyai tanggung jawab. Maka tidak salah ketika banyak jebolan – jebolan Pondok Pesantren yang menjadi orang besar di seluruh dunia, kita ambil contoh K.H Abdurrahman Wahid, K.H Said Agil Siraj, Din Syamsudin. Dll, mereka merupakan bukti nyata bahwa pesantren mampu mengemban tugasnya menjadi kawah candradimuka yang menggodok peserta didik menjadi intelektual – intelektual  peradaban. Meminjam istilah yang digunakan oleh Poule Freire bahwa peserta didik harus menjadi intelektual organik, maka hasil pendidikan pesantren akan mengantarkan peserta didik menjadi intelektual organik yang siap menjawab tantangan zaman. Maka sekarang sudah waktunya pendidikan kita bercermin kedunia pesantren, karena sudah saatnya dunia pendidikan kita menjawab tantangan zaman.
*Penulis adalah
salah satu anggota Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat [LP2M] 

MULTIPLE INTELEGENSI

IMPLEMENTASI MULTIPLE INTELENGENSI DALAM PROSES PENDIDIKAN
( Syaifur Rohman *)
Tujuan dari dijalankannya proses pembelajaran sesuai UU no 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, untuk mencapai tujuan itu pun telah di sediakan serangkaian konsep meliputi konsep standar pendidik, standar isi, standar kompetensi, dan lain sebagainya. Perubahan kurikulum pun terus dilakukan mulai kurikulum tahun 1994 hingga sekarang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan [ KTSP ], yang ditelah diaplikasikan mulai tahun 2005 hingga sekarang. Naik turunnya sebuah kurikulum tidak lain dimaksudkan untuk mendapatkan cara tepat dalam menjalankan proses pembelajaran, mulai dari kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengontrolan hingga evaluasi semua diarahkan untuk memenuhi target tercapainya tiga ranah pokok yang selalu dijadikan dasar dalam pelaksanaan proses pendidikan yaitu ranah kognitif, afektif serta psikomotorik peserta didik. Tugas vital seorang pendidik sangat kentara ketika menghadapi puluhan bahkan ratusan peserta didik dengan potensi yang berbeda. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pendidik sangatlah menentukan keberhasilan dari proses pembelajaran. Mulai dari kompetensi pedagogik yang meliputi kompetensi dalam ilmu mengajar, sosial, profesional serta leadhership semua harus dimiliki seorang pendidik. Transisi pemahaman dari konvensional ke arah modern mulai digalakkan, proses pembelajaran yang berpusat pada guru [ Teacher Centered Education ] mulai beralih ke pembelajaran yang berpusat pada siswa [ Student Centered Education ]. Peserta didik tidak lagi diyakini sebagai botol kosong yang siap di isi berbagai pengetahuan dari guru namun mereka laksana tumbuhan yang menunggu siraman, pupuk, serta sinar matarari perhatian serta motivasi dari sang guru, sehingga kelak mereka mampu tumbuh menjadi pohon – pohon dengan akar kuat serta daun rindang yang menyejukkan dan mengayomi. Ketika konsep pembelajaran dengan menekankan pada Multiple Intelegensi [ kecerdasan majemuk ] telah diterapkan maka tidak ada lagi istilah peserta didik yang bodoh, terbelakang, terasing, lambat dalam pembelajaran, dan sebagainya. Karena semua peserta didik mempunyai kecerdasan yang berbeda satu sama lain, sehingga tugas seorang pendidiklah untuk mengetahui kecerdasan setiap peserta didik. Tugas tersebut memang berat terutama bagi guru – guru yang masih menggunakan pola berfikir Konvensional / Tradisional, namun bagi guru yang telah mengubah paradigma Tradisional dengan paradigma Modern hal tersebut bukan suatu yang sulit. Karena mereka sedang berhadapan dengan makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna, sehingga mereka akan selalu menemukan hal baru yang menakjubkan dalam menjalankan tugasnya. Hal yang paling memprihatinkan adalah masih banyaknya pendidik yang mencaci peserta didik, menyalahkan mereka, hingga memberikan hukuman dengan hukuman yang tidak edukatif. Semisal ada guru yang mengatakan kata – kata negatif seperti “ kamu salah”/ dasar anak bodoh”, yang serta merta disusul dengan gelak tawa peserta didik lain, dapat dibayangkan bagaimana keadaan psikologis peserta didik yang dikatakan seperti itu. Pembunuhan karakter yang tanpa disadari para pendidik, seperti yang dikatakan oleh E.Mulyasa bahwa “ tidak semua guru itu penting bahkan banyak guru yang menyesatkan perkembangan dan masa depan anak bangsa “, hanya pendidik yang selalu belajar dan menghargai semua potensi peserta didiklah yang berhak menerima predikat “ pahlawan tanpa jasa “. Penerapan Multiple Intelegensi memang membutuhkan kerja keras, terutama bagi pendidik, karena mereka dituntut untuk mengerti potensi yang di miliki setiap peserta didik, namun jika bisa teraplikasikan model pembelajaran ini akan memberikan hasil yang menakjubkan. Semisal seorang pendidik dapat menyesuaikan model pembelajaran sesuai dengan apa yang dikehendaki peserta didik dengan materi pembelajaran, apakah mereka menginginkan materi disampaikan dengan diskusi ataukah mereka ingin mencari sendiri informasi tentang materi tersebut, maka seorang pendidik bisa menggunakan strategi – strategi pembelajaran. Dengan menekankan keterlibatan jiwa dari peserta didik menjadikan pembelajaran bukan saja berhenti pada taraf Transfer of Knowlege, namun lebih dari itu pendidikan haruslah menekankan Transfer of Values, Disinilah akan terlihat perbedaan nyata antara pendidikan dengan metode lama  dengan metode yang digunakan dalam multiple intelegensi. Dan pendidikan akan benar – benar untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri. dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
*Penulis adalah
Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga

Kamis, 01 Desember 2011

GURU JILID 2

menjadi guru 
seorang guru adalah kunci keberhasilan pembelajaran yang dijalankan untuk menghasilkan out put yang benar2 diinginkan yaitu terciptanya peserta didik yang mampu menjalani kehidupan dengan kemandirian, dan mampu menjawab kemajuan zaman. begitu vitalnya posisi seorang guru sehingga dijadikan sebagai salah satu penghasil uang yang menjanjikan. guru telah kehilangan ruh yang seharusnya dijadikan pedoman dalam menjalankan tanggung jawabnya, yaitu keikhlasan, alassan yang sering dijadikan benteng adalah bahwa gurupun memiliki keluarga yang harus dipenuhi kebutuhannya, sehingga mereka pun harus mendapatkan upah yang sesuai dengan kerja mereka. memang tidak ada salahnya meminta upah, karena jelas nabi pun tidak melarang meminta upah atas suatu pekerjaan begitu juga bagi pendidik. namun yang disayangkan adalah sikap komersial yang telah membudaya tak terkecuali bagi pendidik, sehingga mereka tidak akan mau mengajar jika mereka tidak dibayar. menjadi seorang guru adalah sebuah panggilan jiwa, sebuah pengabdian yang berlandas atas keistiqomahan, kesabaran, serta keikhlasan. jika guru dapat menerapkan semua itu maka dia akan mendapatkan janji allah pada surat al - mujadilah ayat 11 " allah akan selalu mengangkat orang2 yang beriman dan orang yang berilmu dengan beberapa derajat". walaupun akibat dari globalisme dan komersialime begitu kental dalam masyarakat ini tidak selayaknya seorang guru harus terhanyut dalam pusaran itu. karena seorang guru bukan hanya mempunyai tugas menyampaikan satu ilmu atau nilai namun seorang guru haruslah menerapkan keilmuan itu dalam kehidupannya sehingga peserta didik bisa meniru dalam kehidupan mereka. maka banggalah menjadi seorang guru tanpa tanda jasa, karena peserta didik adalah pelayan bagi guru yang mengajarkan satu huruf pada dia [ peserta didik ].

Jumat, 25 November 2011

GURU

guru
selain beratnya persaingan yang timbul saat ini, kebijakan pemerintah yang menyulitkan misalnya menambah jam kerja, seorang guru juga menghadapi satu lagi ancaman serius yaitu canggihnya teknologi. memang sekilas teknologi membawa banyak manfaat namun tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi bak pisau yang mempunyai dua mata, suatu saat bisa bermanfaat disaat yang lain dia pun bisa membawa sebuah bahaya. dari segi manfaat sebaiknya tidak saya jelaskan karena pastinya semua bisa menemukannya, namun yang patut diwaspadai adalah permasalahan yang ditimbulkan. semakin canggihnya teknologi tanpa batas merambah kesetiap sendi kehidupan, sebut saja HP mulai dari anak - anak yang belum umur hingga yang berumur umur, semua mengenal dan bisa memanfaatkan, mulai yang canggih hingga HP jadul sekarang ini tidaklah sulit untuk mendapatkan nya. HP yang penggunaannya tidak dibatasi sering menimbulkan masalah misal dalam ujian sering digunakan sebagai alat penyebar kunci jawaban, dll. selain itu dengan aplikasi dan fitur2 yang mudah dijalankan sangat memungkinkan untuk disalahgunakan, terutama oleh mereka peserta didik yang dianggap mempunyai kebutuhan khusus [ sebut nakal ] , seorang guru yang kurang pengalaman [ sebut kurang profesional ] sering mengabaikan kondisi psikologis dari peserta didik, mereka [ guru ] selalu membawakan pelajaran dengan monoton, membosankan karena hanya menggunakan satu metode yaitu ceramah atau CBSA [ catat buku sampe abis ] dan tidak jarang memarahi peserta didik karena mereka tidak mendengarkan ketika guru tersebut sedang melakukan ceramah akbar. dia [ guru ] tidak menyadari bahaya yang sedang mengintainya, yang dia hadapi bukanlah botol kosong yang siap di isi pengetahuan2 namun yang dia hadapi adalah makhluk paling sempurna dengan segala potensi. sehingga dengan kemajuan teknologi saat ini peserta didik bisa saja membalik keadaan [ mereka lebih pintar dari gurunya] karena mereka bisa mengakses berita dari semua media yang tersedia. lalu jika sudah sampai pada taraf yang mengkuatirkan yaitu seorang peserta didik telah merasa diabaikan hak2nya, bukan tidak mungkin mereka melakukan serangan balik kepada guru. cara yang mereka gunakan pun bisa bervariatif, mulai dengan menggunakan kecanggihan teknologi, yaitu dengan merekam saat guru marah2 atau memukul mereka lalu mereka [ peserta didik ] up load melalui internet, dengan sekejap seluruh dunia bisa mengetahui ketidakprofesionalan seorang guru, atau peserta didik sengaja membuat guru marah lalu diantara mereka ada yang merekam dan mereka menyebarkannya melalui internet. dan masih banyak yang dapat dilakukan oleh peserta didik dengan kecanggihan teknologi, jika guru masih saja menganggap bahwa peserta didik adalah botol kosong. maka sudah saatnya paradigma lama digantikan paradigma baru sehingga pembelajaran berjalan secara humanis.

Kamis, 24 November 2011

PAHLAWANKU

guru pahlawan tanpa jasa
istilah diatas memang hanya berlaku pada masa dahulu, atau kalaupun masih ada sekarang ini jumlahnya sangatlah minim maklumlah semua ini akibat dari paham komersialisme yang telah merambah kesegala sendi kehidupan. dahullu menjadi seorang guru tidaklah menjadi sebuah kebanggaan bahkan hanya segelentir orang saja yang dengan keikhlasan hati mau mendedikasikan hidupnya untuk mencerdaskan generasi muda. pasalnya menjadi seorang guru memang harus benar - benar panggilan hati, mereka harus siap menelan pil pahit kehidupan dengan bayaran yang pas - pas an seorang guru harus tetap mencurahkan seluruh tenaganya demi mencerdaskan kehidupan bangsa. inilah salah satu kelemahan bangsa indonesia pada masa orde baru, pemerintah tidak paham dan seakan tidak mau tahu tentang permasalahan yang menyangkut pendidikan, para pejabat lebih mementingkan pembangunan sarana dan prasarana. sehingga kita lumayan tertinggal [ jika tidak mau dikatakan jauh tertinggal ] dengan negara - negara tetangga. penghargaan pada guru secara drastis berubah ketika pemerintah menyadari bahwa kemajuan bangsa terletak pada tulang punggung generasi muda terutama pada bidang pendidikan. seketika penghargaan yang diberikan pada guru meningkat masyarakat berbondong - bondong mengarahkan anak mereka untuk menjadi seorang guru. karena tuntutan yang mendesak jalan pintas pun sering dijadikan jalan yang pantas untuk dilalui karena memang lebih cepat walau sedikit kurang aman. penyalahgunaan wewenang pemerintah pun marak terjadi misal dengan memberikan kelonggaran dalam menempuh perkuliahan diperguruan tinggi, bagi mereka yang hanya menginginkan ijazah untuk mengajar banyak yang menggunakan jalan pintas ini, berbekal uang mereka bisa membeli ijazah dan mereka pun jadi seorang guru. namun perlu dicermati, kesalahan yang akan menjadi mata rantai kegagalan pendidikan di indonesia yaitu kurang profesionalnya seorang guru, mereka jelas kurang kompeten dalam bidang pendidikan, karena kebanyakkan dari mereka adalah sarjana jadi - jadi an [ karbitan ]. kebijakkan terbaru pemerintah yang tertuang dalam UU no 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS pun belum begitu dijalankan dengan merata, karena masih banyak proses pendidikan yang masih menggunakan cara klasikal, kekerasan dalam pendidikan masih menjadi hal yang sering kita jumpai. dapat dibayangkan mahasiswa yang seminggu menghabiskan waktu diperkuliahan saja banyak dari mereka yang belum bisa menerapkan semua ilmu yang diterima dalam perkuliahan, apa lagi mereka yang hanya 2 hari dalam seminggu mengikuti perkuliahan, memang semua tergantung pada mahasiswanya tapi setidaknya itu bisa kita renungkan pada diri kita masing -masing. kembali ke guru yang tanpa jasa, dengan berkembangnya dunia industri dan menjamurnya paham kapitalisme dan menyebabkan komersialisme disegala bidang istilah guru tanpa jasa bukan berarti mereka tidak mengharapkan imbalan atas hasil kerja mereka, namun guru tanpa jasa adalah mereka yang secara total mencurahkan kemampuan mereka secara profesional dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab yang mereka pikul, dan selalu berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa melalui jalan mencerdaskan anak - anak bangsa. semoga calon guru - guru masa depan selalu belajar dan berusaha untuk menjalankan tugas mereka yang mulia.

Selasa, 22 November 2011

ANTARA NGAJI DAN NGABDI


antara ngabdi dan ngaji
fenomena pendidikan saat ini memang beragam, sebagian sedang menderukan semangat yang mengusung warna karakter dalam pendidikan ada juga yang mengusung warna inklusif dan lain sebagainya. namun hal yang harus dicermati adalah semua warna yang diusung adalah dengan tujuan satu yaitu untuk memajukan pendidikan tanah air. ternyata fenomena diatas juga terjadi dalam space terkecil sekalipun, misalnya pesantren. dengan notabennya, pesantren tidak ingin ketinggalan mengambil peran. perubahan pun dilakukan mulai kurikulum hingga metode belajar. tidak berhenti sampai disitu, pesantren pun mendirikan organisasi2 yang menjadi wadah bagi para santri untuk mengeksplor kemampuannya, serta membekali mereka untuk agar terbiasa dengan kehidupan masyarakat. hal itu memberikan hasil sangat memuaskan, karena dengan terjun dalam sebuah organisasi seorang santri tidak hanya pandai dalam hal tekstual, namun juga kontekstual keadaan masyarakat mereka pelajari. sungguh hasil yang menggembirakan. namun sayang masalah klasik sering kembali terjadi, misalnya kurangnya tanggung jawab santri terhadap tugas utama mereka yaitu "ngaji" sering terlupakan. karena terlalu semangat dalam bidang organisasi kadang mereka lupa akan kewajibannya. ini menurut pendapat para pengurus atau ustad. karena kebanyakan mereka [ santri ] terlalu asyik dengan kegiatan mereka sendiri yaitu mengabdikan diri kepada organisasi. namun fenomena ini tidak sepenuhnya benar karena ada beberapa alasan kenapa para santri sampai melalaikan tugasnya. menurut pendapat saya dan ini hanya pendapat yang subjektif ada beberapa hal yang menyebabkan itu, diantaranya :
1. mungkin pengurus tidak memberikan contoh yang dapat ditiru
2. kebanyakan pengurus hanya melihat hal yang pragmatis [ yang nampak ]
3. atau pengurus atau seorang ustadz takut tersaingi oleh santri santrinya ... oh kalo yang ini saya cuma menebak,
ini cuma hipotesa pribadi saya. karena jika suatu pondok telah membuat sebuah organisasi bagi pengembangan bakat para santrinya seharusnya ada tuntunan yang harus di ikuti para santri ketika menjalankan organisasi tersebut sehingga mereka [ santri ] yang posisinya sedang tholab bisa mempunyai panutan dalam menjalankan tugasnya dalam sbuah lembaga, yaitu antara ngabdi dan nyantri. sehingga tidak ada lagi sebutan santri anjal [ anak jalanan ] dsb. karena mau tidak mau sebagai seorang guru atau pengurus dalam beberapa kitab telah diterangkan tentang kewajiban serta tugasnya. yang paling mudah dalam UU no 20 tahun 2003 diterangkan bahwa seorang guru harus mempnyai 5 kompetensi, silahkan cek sendiri kompetensi2 tersebut. sehingga siapapun yang menjadi seorang guru bisa menghargai seluruh jerih payah dari tugas dan pengabdian seorang murid.